Malang. Di dalam kontestasi politik yang semakin memanas menjelang pemilihan Presiden dan wakilnya seperti saat ini, peran Media di Indonesia cukuplah vital dalam membentuk opini publik dan saling curi pengaruh. Sehingga tidak ayal kini media massa di Indonesia juga tidak bisa lepas dari mesin perpolitikan. Hal ini lah yang dipaparkan Dr. Ross Tapsell. Ph.D dari Australia National University dalam Kuliah Tamu yang diselenggarakan Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) pada Senin pagi (4/3).

Dosen yang juga penulis buku Kuasa Media di Indonesia ini dalam kesempatan ceramahnya di Aula Perpustakaan UM  ini lebih memaparkan masa depan pemberitaan di negeri ini. Dimulai dari risetnya sejak tahun 2009 lalu. Berbagai informasi didapatkanya dalam meneliti kecenderungan media di Indonesia. Hingga akhirnya dia menemukan kesimpulan yang mencengangkan, yaitu media-media di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang saja yang merupakan bisnismen perusahaan pers. “Media-media di Indonesia hanya dikuasi delapan pemilik media besar saja. Seperti Jawa Pos grup hingga Bakrie grup,” ujar mantan jurnalis Jakarta Post ini.

Dia pun juga memberikan contoh pertarungan panas media di perpolitikan Indonesia dalam  Pilpres 2014 lalu antara TVOne dan MetroTV yang memiliki kepentingan yang berbeda. Namun berbeda di tahun politik saat ini yang seolah-olah media timpang dalam menentukan sikapnya. Karena hampir dari semua pemilik media mengerucut pada satu dukungan salah satu calon saja. Karena ketimpangan inilah membuat pemberitaan juga menjadi timpang. “Ini yang berbahaya ketika Media terang-terangan ikut campur dalam dalam kancah perpolitikan dan sarat akan kepentingan,” terang Tapsell.

Selain itu Tapsell juga menerangkan bahwa keadaan seperti ini memang menjadi ciri khas media di Indonesia yang dia anggapnya unik dan berbeda dari media-media di negara lain. Media dan politik tidak bisa jauh dan hubunganngannya cukup erat. Tapsell pun beranggapan bahwa sejak Pra-Kemerdekaan pun hubungan ini terus terjadi. “Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, media massa pun cukup andil di dalam perpolitikannya,” ungkap pria yang jauh-jauh dari Australi ke Indonesia untuk meneliti media dalam Pilpres 2019 ini.

Di dalam tulisan Benedict Anderson, Tapsell menerangkan kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari surat kabar berbahasa Indonesia yang bisa mempersatukan para pejuang. Begitu pula di tahun 1962 ketika televisi hadir di Indonesia, peran media terutama TVRI cukup andil dalam membuat legitimasi pemerintahan, terutama ketika Soeharto berkuasa. “Kalau kalian dulu pernah lihat, setiap berita pertama di TVRI selalu ada pidato Soeharto beserta peresmian-peresmian pembangunan yang dia capai,” ujarnya.

Begitupun ketika internet masuk Indonesia pada masa Reformasi juga membuat kebijakan politik pun berubah dengan ditandainya runtuhnya Orde Baru. Dengan internet, para aktivis mahasiswa pun mengetahui semua informasi dari seluruh penjuru dunia yang menggerakkan mereka dalam suatu massa aksi reformasi. “Yang saya tangkap dari perkembangan media di Indonesia itu ketika media baru hadir, kebijakan politik barupun juga mengiringinya. Sehingga tidak bisa dilepaskan hubungan antara Media dan Politik di Indonesia,” tegas Tapsell.

Pewarta : Moh. Fikri Zulfikar

Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM)

Sumber um.ac.id

en_USEnglish