Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2017 bersama tiga dosen pendamping, yakni Prof. Dr. Maryaeni, M. Pd., Teguh Tri Wahyudi, S. S., M.A., dan Mustofa Kamal, S. Pd., M. Sn. melakukan kunjungan ke Dusun Kaliputih. Dusun Kaliputih berlokasi di Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, terletak di lereng Gunung Semeru. Para mahasiswa dan dosen selama tiga hari melakukan aktivitas disana, yakni tanggal 13 hingga 15 April 2018.
Di Dusun Kaliputih mahasiswa Sastra Indonesia melaksanakan program Giat Literasi dan Kuliah Kerja Lapangan sebagai wujud pelaksanaan penelitian dan pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi. Program ini dilaksanakan dan dikemas dengan beragam kegiatan seperti mengajar di TK, mengadakan pertunjukan, bersih desa, dan observasi. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan mahasiswa tetapi juga masyarakat Dusun Kaliputih. Selain itu beberapa mahasiswa juga turut serta mengikuti kegiatan rutin yang diadakan masyarakat di sana, salah satunya Diba’.
Dua hari berturut-turut yaitu Jumat dan Sabtu, beberapa mahasiswa mengajar tari di TK Dharma Wanita Persatuan Mulyoasri 4. Tari tersebut berasal dari tari maumere yang telah dimodifikasi. Tujuan dari diajarkannya tari tersebut adalah untuk menunjang acara inaugurasi yang dilaksanakan pada Sabtu malam. Acara Inaugurasi dilaksanakan di lapangan Dusun Kaliputih pukul 18.30-22.00. Para warga pun berbondong-bondong datang untuk menyaksikan acara inaugurasi hingga akhir. Inaugurasi memiliki rangkaian acara: pembacaan puisi, pementasan drama, karaoke, penampilan tari dari TK A dan B, kuis, serta undian sembako. Acara tersebut berjalan dengan lancar dan meriah. Selain mengajar dan mengadakan inaugurasi, para mahasiswa juga melaksanakan bersih desa dan observasi.
Pada hari terakhir kegiatan tersebut (15/4) beberapa mahasiswa melakukan kunjungan ke salah satu sesepuh Dusun Kaliputih. Kunjungan itu dilakukan untuk menggali informasi mengenai cerita rakyat, mantra-mantra yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit, dan lain sebagainya. Sesepuh dusun itu bernama Mbah Dinomo.
Mbah Dinomo memulai ceritanya dengan kisah masa mudanya yang ikut berjuang mengusir penjajah yang ingin menguasai Indonesia kembali. Mbah Dinomo melanjutkan ceritanya mengenai kisah nama Kaliputih. Menurut Mbah Dinomo, dulu di dusun itu terdapat sebuah batu yang cukup besar. Batu itu mengeluarkan air warna putih layaknya santan. Dari situlah orang-orang sana mulai menyebut dusun itu Kaliputih.
Diakhir cerita Mbah Damono menjelaskan bahwa untuk mencari ilmu perlu perjuangan yang besar. Bentuk upaya yang dilakaukan pada masa lalu salah satunya adalah dengan meminum air campuran kertas mantra yang dibakar. Orang yang mencari ilmu demikian harus mencatat mantra-mantra yang diucapkan sang guru pada sebuah kertas, setelah dihafalkan dengan benar, kertas itu harus dibakar dan dicampurkan pada wedang dan diminum sampai habis. Untuk menebus ilmu itu, harus dibeli dengan harga satus. Satus bukanlah nominal uang dalam bahasa Jawa, melainkan sebuah kereta basa, wetenge asat tenggorokane ditus atau dengan kata lain puasa.
(Mochamad Bayu Ari Sasmita, Sindy Lianawati)