M “KODRAT” ANAK LELAKI THAILAND SELATAN DIBENTUK SEJAK DINI
Oleh: Hanum Lintang Siwi Suwignyo
Beberapa waktu lalu saya dan beberapa mahasiswa dari 14 Universitas dari seluruh Indonesia lainnya yang sedang PPL-KKN di wilayah Songklha, Thailand Selatan sedang mendatangi kegiatan monitoring awal yang dilakukan oleh para petinggi Badan Alumni Thailand Selatan.Tempat pertemuan tersebut berada di salah satu sekolah dasar berbasis Islam bernama Para Mai Witya School, Songklha, Thailand Selatan.
Sesaat setelah turun dari kendaraan, saya disuguhi tawa renyah kanak-kanak yang sedang berlari ke sana kemari. Saya langsung berpikir bahwa sekolah ini pasti sekolah dasar. Ditemani Babo dan Mama (sebutan untuk orang tua asuh selama di Thailand), saya berjalan menyusuri lorong-lorong kelas, melihat anak-anak sekolah tersebut membawa nampan makan siangnya masing-masing. Sampailah saya bersama Babo dan Mama di ruang monitoring. Ruangan tersebut berupa ruangan terbuka, sehingga siapapun yang melintas, akan tetap terlihat.
Saya memutuskan untuk duduk di kursi panjang di depan aula. Sambil berbincang dengan teman-teman saya yang lain, saya melihat beberapa siswa lelaki sedang membawa dua gentong besar berisi bubur, di tangan kanan dan kirinya. Jika di Indonesia persis seperti melihat penjual kerak telor keliling. Sungguh, tubuhnya yang mungil, normalnya tidak akan kuat mengangkat beban benda seberat itu. Di belakang siswa lelaki tersebut, banyak siswa-siswa laki-laki yang lain mondar-mandir membawa bahan makanan ‘berat’ lainnya. Saya mulai berpikir, mengapa yang melakukan semua persiapan tersebut adalah siswa laki-laki. Belum terjawab pertanyaan saya, acara monitoring dimulai.
Di tengah-tengah suguhan khas Thailand Selatan, nasyid, yang menarik, datang nampan-nampan makanan berisi makanan pembuka. Lagi-lagi yang membawakan adalah siswa laki-laki. Kemudian setelah makanan pembuka habis, para siswa laki-laki sigap mengambilnya dan menggantinya dengan lauk-pauk untuk makan siang. Mereka meletakkan piring-piring tersebut secara apik dan rapi. Memastikan bahwa semua tamu mendapatkan semua jenis lauk. Segenap tamu menyantapnya dengan lahap.
Setelah acara monitoring ditutup, beberapa belas siswa lelaki sekolah Para Mai Witya School membereskan piring-piring makanan tersebut. Karena saya tidak langsung pulang, saya memperhatikan apa yang mereka lakukan. Dua orang anak lelaki menggotong satu panci besar besar dan diletakkan di dekat salah satu meja. Beberapa anak lainnya mengambil piring-piring di atas meja dan membuang sisa makannya di panci tersebut. Beberapa anak lainnya bertugas mencuci piring yang yang sudah dibuang sisa makanannya. Beberapa anak yang lain bertugas meletakkan piring bersih di panci besar yang lain dan membawanya kembali ke dapur. Semuanya bersinergi dengan sangat dinamis.
Kebetulan ruang monitoring bersebelahan dengan ruang kelas. saya mengintip kegiatan yang dilakukan di kelas tersebut. Sangat berbeda dan bertolak belakang. Di sebelah kanan (ruang kelas) para siswa perempuan sedang membaca buku, berbicara dengan temannya, bermain, dan bersenda gurau bersama. Di sebelah kanan, para siswa laki-laki sibuk membersihkan ruang monitoring seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya.
Tetapi hal berbeda ditemukan di Phrateepsaart Islam Vittaya School. Salah satu sekolah yang juga berada di wilayah provinsi Songklha, tempat saya PPL dan KKN selama lima bulan ke depan. Di Prateepsaart, siswa laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama. Tetapi di rumah Babo (sebutan untuk pemilik yayasan sekolah), ditemukan hal yang berbeda. Hal tersebut saya simpulkan karena kami, 3 orang (2 perempuan, termasuk saya sendiri, dan 1 orang laki-laki) peserta PPL-KKN di sekolah tersebut dijamu makan setiap malam. Setiap sebelum memulai makan malam, kami para perempuan yang menyiapkan segala keperluan makan. Dari persiapan pertama, menyajikan piring-piring makanan, mengambil nasi, lauk-pauk, air minum dsb sampai ketika selesai makan, semua piring tercuci. Pernah suatu ketika, teman laki-laki saya, juga ingin ikut membantu menyiapkan makanan. Seketika Mama (istri babo) berkata, “Jangan! Lelaki tak buleh pegi dok dapur..”. untuk membuktikan lagi, teman lelaki saya mencoba untuk membantu mencuci piring di malam berikutnya, sekarang yang berbicara adalah anak perempuan Mama yang usianya kira-kira 17 tahun, “No no no! Tidak buleh..lelaki tak buleh dok dapur, sayo sajo Bae”.
Setelah itu saya mulai berpikir akan perbedaan budaya ini. Jika dilihat, kedua sekolah tersebut berada di provinsi yang sama, dengan latar lingkungan yang sama, tanah yang sama, budaya keislaman dan istiadat Thailand yang sama, tetapi ternyata mempunyai sikap yang berbeda jika menyangkut masalah “dapar”. Menarik ya?
Nama : Hanum Lintang Siwi Suwignyo
Usia : 21 tahun
Jurusan : Sastra Indonesia
Fakultas : Sastra
Universitas : Universitas Negeri Malang, Indonesia
Tempat tinggal di Thailand: Phrateepsaart Islam Vittaya School,
Meuang Thepa, Songklha, Thailand
Selatan.
Email : hanumlintang@gmail.com