silfiyah2

LASES

Karya Silfiyah

Panggung gelap gulita, terdengar suara bising motor dan klakson yang memekakkan telinga. Teriakan-teriakan orang hingga umpatan-umpatan yang menandakan amarah yang telah menutup mata mereka. Lampu sorot mulai menyala dan menyorot bagian tengah panggung. Terlihat seorang pemuda yang tergeletak dengan baju compang-camping. Ia menggeliat kesakitan, berteriak keras hingga seakan memecah semua kebisingan sebelumnya. Ia bangun dari tidurnya dengan susah pasha, bertumpu pada kedua lutunya berteriak sekali lagi hingga pada akhirnya terjatuh dan mati.
Suasana masih redup, diiringi dengan musik yang menyanyat hati. Lima orang penari dengan pakaian dan selendang merah keluar dari kedua sisi panggung. Mereka membawa lilin dalam mangkuk kecil yang kemudian diletakkan mengelilingi orang yang sudah mati tersebut. Panggung dibuar bernuansa remang, dan lebih gelap pada bagian tengah. Penari mulai menari menyebar di bagian sisi panggung dengan melantunkan lagu.
MALAIKAT
“Satu lagi, satu lagi. Hilang anak Ibu pertiwi…. Ini salah siapa… siapa yang bersalah. Bahkan noda dan dosa enggan menunjukkan jarinya. Siapa yang salah, siapa yang bersalah…”

Malaikat mengambil lilin dan kembali bernyanyi.

“Takdir tak pernah berkata, dan bumi tak pernah mengumpat atas pijak dan dosa. Manusia, manusia dengan kesombongan yang lupa akan neraka dan surga. Mereka lupa… lupa mereka semua pada sabit dan sang lelaki bertudung yang menyembunyikan wajah.”
Malaikat meniup lilin dan panggung menjadi gelap gulita. Panggung kosong dan terdengar suara sinden yang menyanyikan lagu menyeramkan (lingsir wengi) dengan diiringi musik gamelan.
Tempat bersetting di sebuah kuburan, terdapat sebuah pohon di pojok kanan dan tiga makam yang berjejer di panggung bagian belakang. Lampu mulai dinyalakan dan terlihat seorang Kakek yang tengah duduk bersila dengan cangkul yang berada dalam disampungnya.

Kakek
“Aduh duh, kok sepi terus ya? Kapan kuburan ini jadi ramai?” (Kakek memasang raut wajah mengeluh). “Pengen main UNO tapi ndak ada yang bisa main. Si Suketi bisanya cuma nyisir rambut sambil godain cowok-cowok yang lewat.”

Lalu datanglah seorang wanita cantik yang memakai baju daster putih. Penampilannya ,,,,,terlihat modern, ia membawa sisir dan berlagak centil.

Suketi
“Kek, kek. Sudah tua kok masih kaya remaja aja. Kakek tadi panggil-panggil aku ya?”
Kakek
“Siapa yang panggil kamu, aku lagi ngomong sendiri kok. Kuburan ini kok selalu sepi ya?”
Suketi
“Kek, kek. Namanya juga kuburan, ya pasti sepilah. Kalau ramai ya namanya diskotik. Eh, kek. Tak kasih tau ya, tadi siang ada penghuni baru loh… masih beronding!”
Kakek
“Ha? Penghuni baru? Masih Joko to?”
Suketi
“Kalau Joko apa tidaknya ya aku gak tau lah Kek, tapi katanya sih masih muda.”
Kakek
“Cepat panggil kesini! Mau tak ajak main UNO-an! Sekalian ajak Muklis kesini juga ya.”
Suketi
“Ih! Muklis? Males ah sama dia. Dia selalu sok-sok jadi orang kaya. Udah mati aja masih belagu, tak retain kuburannya baru tau rasa dia!”
Kakek
“Weleh-weleh, udah wassalam aja masih suka bertengkar. Kita loh tinggal nunggu di jemput ini. Jangan nambah dosa ah!”
Suketi
“Ga usah ditambahin juga udah banyak kek!”
Kakek
“Nah itu kamu tau, kamu itu ya…” (Belum selesai Kakek berbicara, namun terhenti saat Kakek mendengar suara.)
Muklis
“Assalamualaikum!”

Datang dua orang lelaki.

Kakek
“Waalaikumsalam.” (Wajah Kakek nampak senang, sedangkan wajah Suketi nampak kesal). “Ini yang katanya penghuni baru?”

Muklis
“Iya kek, baru tadi pagi dia mati, lalu dikuburnya siang. Ayo-ayo kenalan.”

Wajah lelaki yang baru saja meninggal itu tampak lesu dan penuh dengan kesedihan.

Kakek
“Loh, kok wajahnya sedih seperti itu?”
Roy
“Perkenalkan Kek, nama saya Roy. Ya sedihlah kek, kan saya baru saja meninggal. Siapa coba yang ndak sedih waktu meninggal?”

Suketi
Suketi langsung merangkul lengan Roy. “Aduh mas, jangan sedih. Sini Suketi temenin.”

Roy
Roy melepas pegangan tangan Suketi. “Ih! Aku nggak mau dirangkul sama kuntilanak. Serem!”

Suketi
“Ih, aku ini kuntilanak trendi loh mas. Cantik gini kok dibilang serem!”

Kakek
“Sudah-sudah, jangan bertengkar terus. Roy, Roy. Kalau di kuburan sini mana ada yang gak serem. Semuannya serem! Hahaha”

Roy
“Hah, andaikan saja aku masih hidup, pasti sekarang lagi senang-senang.”

Kakek
“Sudah jangan sedih begitu, kamu kenapa matinya? Ayo-ayo cerita!”

Semua yang ada disana menyetujui apa yang Kakek ucapkan. Mereka tampak sangat antusias menunggu cerita dari Roy.

Roy
“Saya mati karena kecelakaan Kek?”

Kakek
“Oalah kecelakaan. Itu sudah biasa. Aku juga dulunya mati karena tertabrak motor kok.”
Muklis
“Disini juga banyak yang mati kecelakaan, ndak usah sedih.”
Suketi
“Iya mas, masih mending kan matinya kecelakaan, lah aku! Matinya kerena dibunuh!”
Roy
“Tapikan kurang dikit lagi udah udah sampai finish.”
Kakek, dan Suketi
“Hah? Finish? Maksudnya?”
Muklis
“Kamu ikutan balapan ya?”
Roy
“Iya mas, saya mati waktu balapan liar. Sayang banget mas, kurang dikit lagi menang loh.”
Kakek
“Walah nduk, kamu kok masih gak kapok to ya? Ini kamu sudah mati loh! Masih aja mikirin garis finish. Gitu itu untuk apa loh?
Muklis
“Betul! Untuk apa kamu ngang-ngeng ngang-ngeng di jalan, Cuma habisin bensin! Yaa, kalau kamu anak orang kaya macam aku ini sih gak papa lah. Tapi kalau anak orang miskin, huh! Mendingan kamu nyangkul aja di sawah!”
Suketi
“Tapi pasti keren kalau mas-nya bawa motor gede kaya yang di tipi-tipi itu. Aduuuhh! Jadi pengen diboncengin! Siapa itu yang ganteng di tipi itu? Roy ya?”
Muklis
“Roy gundulmu? Ini Roy udah mati! Daripada naik motor, nanti masuk angin! Mending kamu naik mobil sama abang.” (Muklis mencolek dagu Suketi yang tampak risih).
Suketi
“Huh! Dari dulu mobal-mobil! Mana sekarang mobilnya? Ndak ada kok! Mobilmu ndak bisa kamu bawa matikan?”
Kakek
“Sudah-sudah, kalian ini sudah besar masih aja bertengkar terus. Kalau hidup sih gak papa, nah ini sudah mati, masssiiiih aja bertengkar! Ininih hibur nak Roy! Kasian dia baru aja mati!”
Roy
“Udah kek, ndak apa-apa. Saya udah mati, mau gimana lagi?”
Muklis
“Udah Roy, jangan sedih. Hidup aja gak boleh dibuat susah, apalagi kalau mati! Hahaha. (Muklis tertawa sembari merangkul bahu Roy.
Kakek
“Iya betul itu! Aslinya kasian kamu ini, kamu pasti belum nikah kan?”
Suketi
“Aku juga belum nikah loh! Ndak kayak Muklis yang udah nikah tujuh kali!”
Muklis
“Dua kali dibilang tujuh kali. Kamu aslinya kode-kode kan, pengen jadi istriku yang ketujuh.”
Suketi
“Ih, malees! Mending sama mas Roy aja, masih bening!”
Kakek
“Haduh-haduh, bertengkar lagi. tak jadiin satu kuburan baru tau rasa kalian ya! Aku ini mau ngomong sama nak Roy, mau menghibur nak Roy. Kalian ngoceeeh teruus!”
Suketi dan Muklis
“Maaf Kek…”
Roy
“Hahaha, tidak apa-apa Kek, mereka lucu kok. Hahaha. Cukup menghibur Kek!”

Tiba-tiba terdengar suara guntur. Seluruh orang yang berada di panggung, kecuali sang Roy lari ketakuan dan tampak bingung. Mereka lari kesana kemari namun tidak menemukan tempat untuk bersembunyi. Roy menatap mereka dengan pandangan bingung. Hingga pada akhirnya ketiga orang itu keluar dari panggung dan menyisakan Roy yang masih kebingunga. Datanglah empat dengan tudung hitam

Malaikat
“Hahaha!” (Malaikat tertawa dengan menggelegar)

Roy
“Siapa kalian?” (Roy tampak ketakutan dan kebingungan)

Saat Roy berlari dan ingin kabur dari malaikat keempat orang malaikat menjerat kedua tangan Roy dengan kain hitam. Tubuhnya juga dililit olah kain hitam dan ditarik dari berbagai sisi oleh keempat malaikat itu.

Malaikat 1
“Kau harus menerima hukumanmu!”
Malaikat 2
“Sudah banyak nyawa yang telah kau hilangkan!”
Malaikat 3
“Dunia telah kau nodai!”
Malaikat 4
“Banyak manusia yang kau buat menderita!”
Malaikat 2
“Begitu banyak tetes tangis orangtuamu!”
Malaikat 1, 2, 3, 4
“Ini semua salahmu! Salahmu! Salahmu!”

Roy
“Tidaaakkk!!!”

Suasana menjadi hening. Terdengar tangis kesakitan dari Roy. Tali yang menjerat tubuh Roy sedikit melonggar, namun tidak lepas dari genggaman para malaikat.

Roy
“Apa salahku? Aku hanya melakukan hal yang kusuka! Apa salahku! Katakan!”
Malaikat 1
(Menarik tali hingga Roy terseok) “Kau bertanya apa salahmu? Hahaha.
Malaikat 3
(Menarik tali Roy hingga Roy kesakitan) “Kau lupa pada Kakek yang kau tabrak tahun lalu? Kakek yang beberapa detik lalu bersedih atas kematianmu!”
Malaikat 2
“Apa kau juga lupa dengan gadis yang kau perkosa dengan teman-temanmu? Gadis yang telah kau jerumuskan ke dunia yang sama kotornya denganmu!”
Malaikat 4
“Dan lelaki yang mobilnya yang buat hangus karena menabrak pohon? Kau lupa?”

Lelaki itu berteriak kesakitan saat tubuhnya ditarik dan diombang-ambingkan oleh para malaikat. Hingga Roy berteriak saat malaikat-malaikat itu melilitkan kain-kain hitam pada tubuh Roy. Dan pergi dengan Roy yang berteriak kesakitan.

Roy
Menangis dan tampak sangat menyesal. “Maafkan aku! Maafkan aku! Ini salahku! Ini semua salahku! Begitu banyak dosa yang telah mengotori kedua tanganku! Begitu banyak air mata yang menetes karena ulahku! Maafkan aku! Maafkan aku!”

Panggung menjadi gelap, terdengar suara gamelan dan suara sinden yang menyanyikan lagu penuh dengan kesedihan. Lagu itu berisikan sebuah penyesalan dan beberapa nasihat.

TAMAT

id_IDIndonesian